MENYONGSONG 48 TAHUN KORPS PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA

Tak sampai seminggu lagi tepatnya Jumat 29 November 2019, akan diperingati hari berdirinya Korps Pegawai Republik Indonesia atau biasa dikenal dengan KORPRI. Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) KORPRI pada tahun ini, untuk Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah akan diadakan di Kota Luwuk Kabupaten Banggai. KORPRI merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun Pegawai Republik Indonesia yang anggotanya terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum Milik Negara dan atau Badan Hukum Pendidikan, Lembaga Penyiaran Publik Pusat dan Daerah, Badan Layanan Umum Pusat dan Daerah, Badan Otorita/Kawasan Ekonomi Khusus yang kedudukan dan kegiatannya tidak terpisahkan dari Kedinasan.

KORPRI berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 82 Tahun 1971, 29 November 1971. Latar belakang sejarah KORPRI sendiri sangatlah panjang, pada masa penjajahan kolonial Belanda, banyak pegawai pemerintah Hindia Belanda, yang berasal dari kaum bumi putera. Kedudukan pegawai merupakan pegawai kasar atau kelas bawah, karena pengadaannya didasarkan atas kebutuhan penjajah semata.

Pada saat beralihnya kekuasaan Belanda kepada Jepang, secara otomatis seluruh pegawai pemerintah eks Hindia Belanda dipekerjakan oleh pemerintah Jepang sebagai pegawai pemerintah. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini seluruh pegawai pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RI, Pegawai NKRI terbagi menjadi tiga kelompok besar, pertama Pegawai Republik Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan RI, kedua, Pegawai RI yang berada di daerah yang diduduki Belanda (Non Kolaborator) dan ketiga, pegawai pemerintah yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (Kolaborator). Setelah pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949, seluruh pegawai RI, pegawai RI non Kolaborator, dan pegawai pemerintah Belanda dijadikan Pegawai RI Serikat.

Era RIS, atau yang lebih dikenal dengan era pemerintahan parlementer diwarnai oleh jatuh bangunnya kabinet. Sistem ketatanegaraan menganut sistem multi partai. Para politisi, tokoh partai mengganti dan memegang kendali pemerintahan, hingga memimpin berbagai departemen yang sekaligus menyeleksi pegawai negeri. Sehingga warna departemen sangat ditentukan oleh partai yang berkuasa saat itu. Era ini lebih dikenal dengan masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan sistem ketatanegaraan diwarnai oleh kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme). Dalam kondisi seperti ini, muncul berbagai upaya agar pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai yang berkuasa.

Melalui Undang-Undang Nomor : 18 Tahun 1961 ditetapkan bahwa bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan masuk suatu organisasi politik (pasal 10 ayat 3). Ketentuan tersebut diharapkan akan diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya, tetapi disayangkan bahwa, PP yang diharapkan akan muncul ternyata tidak kunjung datang. Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya upaya kudeta oleh PKI dengan G-30S. Pegawai pemerintah banyak yang terjebak dan mendukung Partai Komunis.

Pada awal era Orde Baru dilaksanakan penataan kembali pegawai negeri dengan munculnya Keppres RI Nomor : 82 Tahun 1971 tentang KORPRI. Berdasarkan Kepres yang bertanggal 29 November 1971 itu, KORPRI “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan” (Pasal 2 ayat 2). Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”.

Akan tetapi, UU No.3 Th.1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi KORPRI dalam memperkuat barisan partai. Sehingga setiap kali terjadi birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional KORPRI diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu.

Memasuki Era reformasi muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas KORPRI, sehinga sempat terjadi perdebatan tentang kiprah pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR. Akhirnya menghasilkan konsep dan disepakati bahwa Korpri harus netral secara politik. Bahkan ada pendapat dari beberapa pengurus dengan kondisi tersebut, sebaiknya KORPRI dibubarkan saja, atau bahkan jika ingin berkiprah di kancah politik maka sebaiknya membentuk partai sendiri. Setelah Reformasi dengan demikian KORPRI bertekad untuk netral dan tidak lagi menjadi alat politik.

Para Kepala Negara setelah era Reformasi mendorong tekad KORPRI untuk senantiasa netral. Berorientasi pada tugas, pelayanan dan selalu senantiasa berpegang teguh pada profesionalisme. Senantiasa berpegang teguh pada Panca Prasetya KorpriPP Nomor 12 tentang Perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin jadi anggota Parpol.

Dengan adanya ketentuan di dalam PP ini membuat anggota KORPRI tidak dimungkinkan untuk ikut dalam kancah partai politik apapun. KORPRI hanya bertekad berjuang untuk mensukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara.