TATKALA PROFESI PNS DIDAMBAKAN SEKALIGUS DIGUGAT : PERSPEKTIF KONTEMPLATIF KETIKA ‘PNS BERCERMIN’

ABDUR RAHMAN SETIAWAN

Analis Kepegawaian Muda

Badan Kepegawaian Negara

Berdasarkan  Pasal 1 UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Sebagai bagian dari keluarga besar Aparatur Sipil Negara (ASN), keberadaan dan karakter PNS nampak unik.

Eksistensi dan karakter yang unik serta inhern pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadikannya sebagai profesi (pekerjaan) yang didambakan sebagian masyarakat. Namun pada saat yang bersamaan, juga menjadi profesi yang digugat, bahkan dihujat oleh (sebagian) masyarakat lainnya.

Kita secara kasat mata bisa menyaksikan fenomena (sebagian) masyarakat mendambakan menjadi PNS. Pertama, tingginya minat masyarakat mengikuti tes untuk menjadi mahasiswa sekolah/pendidikan ikatan dinas yang diselenggarakan pemerintah. Sekolah/pendidikan ikatan dinas ini antara lain adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang dibina oleh Kementerian Keuangan, Politeknik Imigrasi dan Politeknik Ilmu Pemasyarakatan yang dikelola Kementerian Hukum dan HAM.

Kedua, tingginya minat masyarakat mengikuti tes/seleksi menjadi CPNS di instansi pemerintah pusat dan daerah. Khususnya melalui jalur/pelamar umum. Berdasarkan data yang disajikan oleh Badan Kepegawaian Negara, total pelamar yang melakukan submit pendaftaran Seleksi Calon ASN Tahun 2021 sebanyak 4.034.366 orang. Dari total pelamar submit tersebut, 3.339.722 pelamar dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) setelah melalui rangkaian tahapan Seleksi Administrasi termasuk Hasil Masa Sanggah Administrasi dimana 694.644 pelamar dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).

Fenomena ketiga, banyaknya orang yang menjadi korban penipuan agar dapat diangkat menjadi CPNS. Mereka yang menjadi korban, baik dari jalur pelamar umum maupun jalur tenaga honorer, tentu memiliki hasrat besar menjadi CPNS. Hal ini tentu tidak saja memprihatinkan sekaligus meresahkan, namun juga merugikan masyarakat dan instansi pemerintah.

Fenomena keempat adalah intensnya tuntutan (tekanan) sebagian kelompok masyarakat kepada pemerintah agar dapat diangkat menjadi CPNS. Hal ini antara lain dilakukan melalui demonstrasi dijalanan atau pun tempat tertentu. Termasuk pada audiensi yang dilakukan dengan instansi pemerintah terkait. Mereka yang melakukan demonstrasi ini antara lain adalah sebagian mantan tenaga honorer kategori II dan kelompok masyarakat lain yang mendesak minta diangkat menjadi kandidat PNS.

Di satu sisi, fenomena masyarakat mendambakan menjadi PNS bisa berimplikasi dan bernuansa positif. Bagi instansi pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Mengapa demikian? Nuansa positif terjadi jika masyarakat terpacu bersaing menjadi CPNS secara jujur dan obyektif. Akibatnya, orang-orang yang terpilih dan lulus dalam tes CPNS maupun sekolah kedinasan adalah mereka yang berkualitas serta berintegritas.

Di sisi lain, fenomena masyarakat yang begitu tinggi ingin menjadi PNS bisa pula berimplikasi dan bernuansa negatif. Bagi instansi pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Nuansa dan dampak negatif terjadi jika animo masyarakat yang begitu tinggi itu disertai prilaku “menabrak” norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) kepegawaian yang ada.

Implikasi dan rona negatif itu tergambar pada fenomena keempat. Yakni sekelompok masyarakat melakukan tekanan agar diangkat menjadi PNS. Itu sekaligus juga membuktikan tingginya minat sekelompok masyarakat menjadi PNS. Karena merasa telah berjasa dan mengabdi kepada Ibu Pertiwi mereka minta diangkat menjadi kandidat ASN tanpa mengindahkan NSPK kepegawaian yang berlaku. Hal ini tentu membuat sulit posisi pemerintah, karena sering dibenturkan dengan berbagai pihak terkait, termasuk dengan DPR dan DPRD.

Berpijak pada buku Merekonstruksi Indonesia: Sebuah Perjalanan Menuju Dynamic Governance, Azhar Kasim mengartikulasikan bahwa secara umum prosedur pelayanan yang berbelit-belit dan membutuhkan waktu lama merupakan ciri khas layanan kantor pemerintah (2015: 227). Hal ini diperparah dengan kurangnya koordinasi antar-sektor terkait, sehingga proses pelayanan publik berlangsung tumpang tindih. Sementara, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang dibuat oleh pejabat tinggi di masing-masing instansi pemerintah bersifat bias dan tidak obyektif. Hal ini dikarenakan LAKIP bersifat evaluasi diri, sehingga tiap instansi cenderung melaporkan perihal yang baik dan menyembunyikan yang buruk (2015: 228).

Terjadinya labeling (penjulukan) terhadap PNS setidaknya dapat terjadi melalui tiga jalur. Pertama, melalui media massa. Pemberitaan di media massa yang intens dan kadang disertai penjulukan terhadap kasus yang menimpa PNS, masyarakat ‘belajar’ menjuluki PNS. Kedua, melalui pengalaman langsung (hands-on experience) seorang anggota masyarakat. Seorang anggota masyarakat mungkin mendapat pengalaman buruk saat berinteraksi  dengan PNS, misalnya tatkala mengurus KTP.  Pengalaman buruk ini menjadi ‘senjata’ orang tersebut  guna menjuluki PNS. Ketiga, informasi yang disajikan oleh anggota masyarakat kepada anggota masyarakat lainnya. Seorang anggota masyarakat yang memiliki label negatif terhadap instansi pemerintah -berdasarkan pengalaman pribadi atau pun informasi media massa- dapat ‘menularkan’ persepsi negatif  ini kepada anggota masyarakat lainnya.

Berkaitan dengan hal ini, PNS hendaknya melakukan beberapa hal guna menjawab gugatan tersebut. Pertama, seorang pegawai perlu menyadari keharusan dan kebutuhannya untuk mengembangkan kemampuan dan potensi diri. Juga berinisiatif melakukan pemberdayaan diri meskipun instansinya mungkin tidak selalu dapat memfasilitasi. Berlandaskan PP Nomor 17 Tahun 2020 khususnya pada pasal 303 ayat (3), setiap PNS memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk diikutsertakan dalam pengembangan kompetensi. Secara simultan, masyarakat pun perlu berperan aktif, antara lain dengan menjauhi praktek KKN tatkala melamar menjadi CPNS atau pun saat membutuhkan layanan publik

Kedua, PNS sebaiknyamenyadari bahwa suatu ketidakteraturan (pelanggaran) dapat mengundang ketidakteraturan lainnya. Untuk itu, suatu kesalahan—meskipun terkesan ‘’sepele’’ dan kecil hendaknya tidak  ‘dilazimkan’ dan dianggap remeh.  Namun demikian, berdasarkan kriteria-kriteria yang obyektif pintu maaf masih perlu dibuka terhadap kesalahan (error room) yang dilakukan oleh pegawai.

PNS, di samping itu, sepatutnya tidak terbawa dan mengikuti pelanggaran ataupun kesalahan yang dilakukan individu atau pun kelompok lainnya. Meskipun kesalahan dan pelanggaran itu kerap dianggap ’wajar’ dilakukan. Jadi, jika seseorang tidak bisa mewarnai lingkungan kerjanya dengan hal-hal yang positif, minimal ia tidak diwarnai oleh hal-hal negatif di lingkungan kerjanya. 

Ketiga, Instansi pemerintah –sebagai suatu organisasi- sepatutnya dapat berperan lebih konkrit dalam menciptakan PNS yang berkualitas dan berintegritas.  Antara lain dengan menegakkan reward and punishment system (sistem penghargaan dan sanksi) secara konsisten dan penuh komitmen.  Peran organisasi adalah conditio sine qua non (syarat mutlak) untuk menangani fenomena ‘masyarakat menggugat’ tersebut.

Sejatinya, menjawab gugatan dan seluruh julukan negatif adalah pekerjaan yang sukar, jika tidak mau dikatakan mustahil. Hal ini bagai pungguk merindukan bulan. Kendati demikian, hendaknya hal ini tidak menjadi justifikasi (pembenaran) terhadap ulah sebagian PNS yang memicu timbulnya stigma-stigma negatif.

Masyarakat, media sosial, dan media massa hendaknya tidak menyebarluaskan penjulukan. Sikap menggeneralisasi bahwa semua ASN bermasalah dan tidak produktif adalah emosional dan tidak tepat, Karena, pada kenyataannya, masih ada dan banyak PNS yang bekerja dengan produktif dan tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Buktinya, antara lain adalah masih terdapat PNS yang layak mendapatkan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) yang ditempuh berdasarkan NSPK kepegawaian yang obyektif.

Selayaknya kita memahami bahwa instansi pemerintah, masyarakat, dan ASN perlu bersinergi dalam konteks menyajikan solusi terhadap untaian masalah tersebut. Peran serta pemerintah, masyarakat, sekaligus dukungan konkret segenap PNS merupakan  manifestasi nyata terhadap adagium yang bertutur bahwa it takes two to tango….