KUALITAS KIMIAWI BERBAGAI OLAHAN FROZEN FOOD DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

drh. PUTRI JELITA
Medik Veteriner pada UPT Veteriner Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tengah

ABSTRAK

Tujuan                    :Memberikan informasi kepada masyarakat akan kualitas kimiawi (kandungan borax, formalin, dan zat pewarna) pada berbagai olahan frozen food di Provinsi Sulawesi Tengah.

Metode                   :Sampel frozen food berasal dari lima daerah di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Buol, Kabupaten Poso dan Kabupaten Touna pada tahun 2020. Frozen food yang diamati ialah bakso dan sosis.

Hasil                       : Hasil pengujian sampel Kota Palu 100 % negatif formalin dan borax pada bakso, pewarnaan pada Sosis 19,35 % dicurigai mengandung pewarna makanan non foodgrade dari 31 sampel. Hasil pengujian sampel Kabupaten Touna 100 % negatif formalin dan borax pada bakso, pewarnaan pada Sosis 100 % dicurigai mengandung pewarna makanan non foodgrade dari 2 sampel. Hasil pengujian sampel Kabupaten Sigi 100 % negatif formalin dan borax pada bakso, pewarnaan pada Sosis 100 % dicurigai mengandung pewarna makanan non foodgrade dari 1 sampel. Hasil pengujian sampel Kabupaten Poso 100 % negatif formalin dan borax pada bakso, pewarnaan pada Sosis 27,27 % dicurigai mengandung pewarna makanan non foodgrade dari 11 sampel. Hasil pengujian sampel Kota Kabupaten Buol 100 % negatif formalin dan borax pada bakso, pewarnaan pada Sosis 50 % dicurigai mengandung pewarna makanan non foodgrade dari 12 sampel.

Kesimpulan           : Frozen food bakso yang beredar di masyarakat tidak mengandung formalin maupun borax. Frozen food sosis dicurigai mengandung pewarna makanan non foodgrade di lima daerah di Provinsi Sulawesi Tengah.

Kata Kunci             : borax, formalin, frozen food, Provinsi Sulawesi Tengah, non foodgrade

PENDAHULUAN

Kualitas dan keamanan bahan pangan merupakan faktor penting dalam penilaian mutu daging. Masyarakat memiliki kesadaran untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga yang terus meningkat, seiring meningkatnya pendapatan penduduk Indonesia termasuk di antaranya ialah bahan pangan asal hewan (BPAH). Daging ayam paling banyak dikonsumsi    oleh masyarakat yang merupakan bahan pangan asal hewan yang diolah menjadi frozen food berupa sosis dan bakso (Priandini, 2015). Berdasarkan data Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner  konsumsi nasional per kapita per tahun untuk daging yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat yaitu daging ayam broiler, daging sapi, dan daging kambing berturut turut sebesar 12.79 kg, 2.66 kg, dan 0.64 kg berdasarkan data (Badan Pusat Statistik, 2021).

Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani harus diikuti  dengan peningkatan keamanan pangan. Bahan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) seharusnya dikonsumsi oleh masyarakat, selain itu kandungan gizi yang tinggi (Ibrahim et al, 2015). Penyalahgunaan formalin, borax, dan zat pewarna dapat ditemukan pada makanan bakso dan sosis. Bakso dan sosis sebagai hasil olahan pangan asal hewan telah mengalami modifikasi dalam proses pembuatannya. Berbagai cara dan metode telah digunakan oleh pedagang dan produsen untuk menciptakan frozen food dalam hal ini bakso dan sosis dengan nilai sensorik yang baik sehingga kepuasan konsumen tetap terjaga.

Frozen food yang beredar di Provinsi Sulawesi Tengah perlu dilakukan pengawasan kualitas sebagai bentuk keseriusan pemerintah kabupaten maupun kota dalam menjamin keamanan bahan pangan asal hewan, selain itu lebih aktif dalam edukasi kepada produsen maupun masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA

Frozen food (makanan yang dibekukan) adalah proses mengawetkan produk makanan dengan cara mengubah hampir seluruh kandungan air dalam produk menjadi es. Pada dasarnya terdapat dua jenis proses pembekuan, yaitu secara mekanik dan secara kriogenik. Keadaan beku menyebabkan aktivitas mikrobiologi dan enzim terhambat sehingga daya simpan produk menjadi panjang (Faradila et al, 2014).

  1. Zat Pewarna (Rhodamin B)

Rhodamin B adalah perwarna sintesis golongan xanthenes dyes yang digunakan pada industri tekstil dan kertas, sebagai pewarna kain, kosmetika, produk pembersih mulut, dan sabun. Rhodamin B memberi warna merah terang jika didalam larutan dan tidak berbau. Rhodamin B sering disalahgunakan pada pembuatan kerupuk, terasi, saus, cabe merah giling, agar-agar, aromanis/kembang gula, manisan, sosis, sirup, minuman, dan lain-lain (Silalahi dan Rahman, 2011).

Tabel 1 Efek akut penggunaan Rhodamin B menurut Santa Cruz B (2010).

2. Borax

Borax atau biasa disebut asam borate, memiliki nama lain, sodium tetraborate biasa digunakan untuk antiseptik dan zat pembersih selain itu digunakan juga sebagai bahan baku pembuatan detergen, pengawet kayu, antiseptik kayu, pengontrol kecoak (hama), pembasmi semut dan lainnya. Efek jangka panjang dari penggunaan borax dapat menyebabkan merah pada kulit, gagal ginjal, iritasi pada mata, iritasi pada saluran respirasi, mengganggu kesuburan kandungan dan janin. Dosis yang dapat menyebabkan kematian atau biasa disebut dengan dosis letal pada orang dewasa adalah sebanyak 10-25 gram, sedangkan pada anak-anak adalah sebanyak 5-6 gram (Mediakom, 2015).

3. Formalin

Formalin merupakan larutan 40% formaldehid cairan jernih yang tidak berwarna atau hampir tidak berwana dengan bau yang menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan, dan rasa membakar. Formalin tidak boleh digunakan sebagai bahan pengawet untuk pangan. Akibatnya jika digunakan pada pangan dan dikonsumsi oleh manusia akan menyebabkan beberapa gejala diantaranya adalah tenggorokan terasa panas dan kanker yang pada akhirnya akan mempengaruhi organ tubuh lainnya, serta gejala lainnya. Adapun bahaya penggunaan formalin terhadap kesehatan antara lain (BPOM, 2014) :

1. Jika terhirup dapat menimbulkan rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan , sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, kanker paru- paru.

2. Jika terkena kulit dapat menimbulkan kemerahan, gatal, kulit terbakar.

3. Jika terkena mata dapat menyebabkan mata kemerahan, gatal, mata

berair, kerusakan mata, pandangan kabur, sampai kebutaan.

4. Jika tertelan dapat menyebabkan mual, muntah, perut perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian.

METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan adalah observasional dengan anlisis deskriptif. Penelitian ini dilakukan pada lima daerah di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Buol, Kabupaten Poso dan Kabupaten Touna. Penelitian berlangsung selama satu tahun pada 2020.

 Sampel frozen food yang diamati ialah bakso dan sosis. Memasukkan sampel ke dalam kantong plastik steril, lalu memberi label pada plastik dan menyimpannya pada cool box dalam kondisi dingin dengan suhu 4-10 ℃ selama perjalanan dari lokasi pengambilan ke laboratorium. Pengujian sampel maksimum 24 jam dilakukan dari waktu pengambilan.

Pengujian Formalin (Easy Test®)

  1. Sampel ditimbang sebanyak 10 g secara aseptik, kemudian dimasukkan ke dalam wadah steril.
  2. Sampel dicincang kecil – kecil dan dihaluskan dengan mortal.
  3. Air panas ditambahkan sebanyak 20 ml dan diaduk kemudian dibiarkan dingin.
  4. Air campuran tersebut diambil sebanyak 5 ml kemudian ditetesi dengan menggunakan Reagen A dan B masing-masing sebanyak 4 tetes, dikocok dan dibiarkan selama 10 menit.
  5. Apabila sampel berubah warna menjadi warna ungu maka sampel tesebut mengandung Formalin.

Pengujian Borax (Easy Test®)

  1. Sampel ditimbang sebanyak 5 g secara steril kemudian dihaluskan.
    1. Air panas ditambah kedalam sampel sebanyak 10 ml kemudian diaduk hingga tercampur.
    1. HCl 5% ditambahkan sebanyak 5 ml kemudian diteteskan Reagen pengujian borax sebanyak 4 tetes.
    1. Sampel diaduk hingga tercampur lalu celupkan kertas pengujian sampai terendam sebagian.
    1. Kertas pengujian dikeringkan dan lihat perubahan warna yang terjadi pada kertas tersebut. Apabila terbentuk warna merah bata maka bakso tersebut mengandung borax.

Pengujian Rhodamin B (Easy Test®)

  1. Sampel ditimbang sebanyak 10 g secara steril kemudian air panas ditambah kedalam sampel sebanyak 10 ml kemudian diaduk hingga tercampur.
    1. Masukkan 1 tetes REAGENT A dan 1 tetes REAGENT B serta 4 tetes ke botol uji atau tabung reaksi. Kocok sekitar 1 menit agar tercampur rata.
    1. Masukkan 1 sendok makan (± 5 ml) cairan uji ke dalam botol uji atau tabung reaksi yang sudah berisi campuran reagent.
    1. Kocok sebentar dan diamkan campuran sekitar 10-20 menit lalu amati perubahan warna yang terjadi.
    1. Jika warna campuran berubah menjadi ungu berarti bahan yang diuji positif mengandung pewarna sintesis merah (Rhodamine B). Jika warna menjadi coklat berarti negatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian kualitatif yang dilakukan terhadap kandungan formalin dan borax pada sampel frozen food yaitu bakso di kelima daerah di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan tabel 2-6 dapat dilihat bahwa 100% bakso yang beredar di masyarakat tidak mengandung formalin maupun borax.

No. Kab/Kota Hasil Uji Formalin Bakso Hasil Uji Borax Bakso Hasil Uji Pewarnaan Sosis
1 Kab. Buol 6 sampel (100% negatif) 6 sampel (100% negatif) 12 Sampel (50% positif, 50% negatif)
2 Kab. Poso 7 sampel (100% negatif) 7 sampel (100% negatif) 11 Sampel (27,27% positif, 72,72% negatif)
3 Kab. Sigi 5 sampel (100% negatif) 5 sampel (100% negatif) 1 Sampel (100% positif)
4 Kab. Touna 6 sampel (100% negatif) 6 sampel (100% negatif) 2 Sampel (100% positif)
5 Kota Palu 46 sampel (100% negatif) 6 sampel (100% negatif) 31 Sampel (80,64% negatif, 19,35% positif)

Borax (Natrium Tetraborat) merupakan senyawa kimia yang mengandung unsur boron dengan rumus molekul Na2B4O7. 10H2O. Saat ini, borax  umumnya digunakan sebagai pengenyal makanan termasuk bakso. Pengujian bakso 100 % negatif mengandung borax hal ini mengindikasikan bahwa konsumen belum memperhatikan kualitas bakso terutama dari tingkat kekenyalannya. Selain itu, penilaian konsumen terhadap tingkat kekenyalan bakso yang di jual oleh produsen atau penjual bakso sudah baik atau sesuai selera.

Hasil penelitian ini perlu disyukuri karena produsen frozen food bakso yang dijual tidak mengandung formalin, dapat dipicu oleh daya beli konsumen yang sangat tinggi dibandingkan produksi bakso. Adapun ciri fisik bakso yang positif mengandung formalin yaitu warna lebih pucat dari warna bakso aslinya (tidak mengandung formalin) dan bau khas daging yang hilang.

Grafik 1 Penggunaan Zat Pewarna pada Frozen Food yaitu Sosis di Provinsi Sulawesi Tengah

Grafik 1 memperlihatkan bahwa ternyata masih ada pedagang yang merugikan konsumen dengan menggunakan pewarna sintetis Rhodamin B pada pangan. Bahkan seluruh kabupaten terdapat sampel dicurigai mengandung pewarna makanan non foodgrade yaitu Kabupaten Sigi sebanyak 100 % dari 1 sampel, Kabupaten Touna sebanyak 100 % dari 2 sampel, lalu Kabupaten Buol sebesar 50 % dari 12 sampel, Kabupaten Poso 27,27 % dari 11 sampel dan Kota Palu 19,35% dari 31 sampel. Hal ini tentu sangat merugikan konsumen yang mengkonsumsi frozen food bentuk sosis karena didalam Rhodamin B terdapat ikatan dengan klorin dimana senyawa klorin merupakan senyawa anorganik yang reaktif dan juga berbahaya (Mediakom, 2015). Reaktif untuk mengikat ion klorin disebut sebagai sintesis zat warna. Atom klorin yang ada pada Rhodamin B yang menyebabkan terjadinya efek toksik bila masuk kedalam tubuh. Sifat dasar klorin adalah gas beracun yang menimbulkan iritasi sistem pernapasan, iritasi mata, dan iritasi kulit. Hal ini dikarenakan klorin merupakan senyawa anorganik yang sangat reaktif, toksik, dan bersifat karsinogenik (memicu kanker).

Penggunaan Rhodamin B pada makanan dalam waktu lama (kronis) akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker. Namun demikian, bila terpapar Rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan Rhodamin B. Bila Rhodamin B tersebut masuk melalui makanan maka akan mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing yang berwarna merah atau merah muda. Dengan menghirup Rhodamin B dapat pula mengakibatkan gangguan kesehatan, yakni terjadinya iritasi pada saluran pernapasan. Demikian pula apabila zat kimia ini mengenai kulit, maka kulitpun akan mengalami iritasi. Mata yang terkena Rhodamin B juga akan mengalami iritasi mata yang ditandai dengan mata kemerahan dan timbunan cairan atau udem pada mata (BPOM, 2014).

PENUTUP

Kesimpulan

Frozen food bakso yang beredar di masyarakat tidak mengandung formalin maupun borax. Frozen food sosis dicurigai mengandung pewarna makanan non foodgrade di lima daerah di Provinsi Sulawesi Tengah.

Saran

  1. Perlunya ditingkatkan monitoring kualitas kimiawi olahan frozen food di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi Tengah.
  2. Disediakannya pengetahuan dan informasi kepada masyarakat tentang pewarna sintetis (Rhodamin B) yang terkandung dalam pangan serta bahaya yang ditimbulkannya terhadap kesehatan tubuh melalui iklan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Badan Pusat Statistik. 2021. Rata-rata konsumsi per kapita seminggu beberapa macam bahan makanan penting, 2019-2020. Badan Pusat Statistik.[diakses 15 April 2022]. https://www.bps.go.id.
  2. Badan pengawasan Obat dan Makanan. 2014. Bahaya Rhodamin B sebagai Pewarna pada Makanan. BPOM RI, Jakarta.
  3. Faradila., Alioes, Y., dan Elmatris. 2014.  Identifikasi Formalin pada Bakso yang Dijual pada Beberapa Tempat di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 3:156-157.
  4. Ibrahim HM, Amin RA, El-Shater MA, Hafes M. 2015. Bacteriological evaluatoin of freshly slaughtered chicken carcasses. BVMJ. 28:74-82.Doi: 10.21608/bvmj.2015.31869.
  5. Mediakom. 2015. Keamanan Pangan. Kementerian Kesehatan RI.
  6. Priandini, I. 2015. Kandungan Borax Pada Bakso di Makassar. Jurnal Kesehatan. Makassar : Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
  7. Santa Cruz. 2010. Material Safety Data Sheet of Rhodamine B. Available from; URL : http://datasheets.scbt.com/sc-203756.pdf.
  8. Silalahi, J. Dan Rahman, F. 2011. Analisis Rhodamin B pada jajanan anak Sekolah Dasar di Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatra Utara. J Indon Med Assoc. Vol 61 (7). Pp : 293-298.