Arah Baru Karir ASN Pasca Peralihan Jabatan Dari Struktural Ke Fungsional

Rubrik Fungsional :

Arah Baru Karir ASN Pasca Peralihan Jabatan Dari Struktural Ke Fungsional

MOHAMMAD RAHMAT, S.IP.

Assessor SDM Aparatur Ahli Pertama UPT. Penilaian Kompetensi Pegawai

Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

Pendahuluan

Sejak 3 tahun lalu, tepatnya tanggal 20 Oktober 2019, Pidato Presiden Republik Indonesia di depan Sidang MPR menyatakan bahwa salah satu fokus pemerintah yaitu melakukan reformasi birokasi pemerintahan. Yakni dengan melakukan penyederhanaan birokrasi secara besar – besar dilingkungan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Secara spesifik, penyederhanaan birokrasi disebutkannya dengan melakukan pemangkasan jabatan struktural yang ada saat ini, dari level eselon I, eselon II, eselon III, dan eselon IV menjadi hanya dua atau tiga level jabatan struktural saja yaitu eselon I, eselon II dan eselon III.

Adapun alasan utama dilakukannya penyederhanaan tersebut yaitu untuk mempersingkat proses pengambilan keputusan dalam beragam urusan pemerintahan pembangunan dan pelayanan masyarakat. Termasuk juga dalam konteks mempercepat proses perizinan dan pelayanan kepada masyarakat diberbagai bidang serta tak kalah penting untuk menghadapi tantangan global yang ada pada saat ini. Tantangan tersebut dapat dilihat dari adanya perubahan metode kerja secara cepat melalui transformasi digital. Tantangan yang menuntut ASN memiliki keahlian dan kompetensi agar dapat bekerja dengan cepat, adaptif, serta inovatif.

Lebih lanjut Kementerian PAN – RB sebagai instansi yang berwenang dalam menerjemahkan dan melaksanakan arahan pidato Presiden tersebut telah mengeluarkan kebijakan untuk mendukung proses penyederhanaan birokrasi tersebut. Antara lain dengan mengeluarkan Surat Edaran MenPAN RB Nomor 382 s.d 393 Tahun 2019 tanggal 13 November 2019 tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi dan Peraturan Menteri PAN RB Nomor 28 Tahun 2019 Tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Dalam Jabatan Fungsional. Bahkan sebagai dasar hukum penyederhanaan birokrasi ini juga sampai dengan melakukan perubahan peraturan pemerintah tentang manajemen PNS, berupa terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 Tentang Perubahan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

Dalam proses penyetaraan jabatan ini, Kementerian PAN – RB juga melibatkan dan mendelegasikan kewenangannya kepada Kementerian Dalam Negeri. Khususnya untuk proses penyetaraan jabatan dikalangan Pemerintah Daerah. Sedang untuk kementerian dan lembaga non kementerian lainnya tetap diproses oleh Kementerian PAN – RB. Olehnya,  Kementerian Dalam Negerilah yang melayangkan surat Kepada Gubernur, Walikota dan Bupati di seluruh Indonesia perihal Akselerasi Proses Penyetaraan Jabatan di lingkungan Pemerintah Daerah.

Melalui surat Kemendagri tersebut tergambar tahapan akselerasi proses penyetaraan jabatan struktural ke jabatan fungsional bagi pemerintah daerah, yaitu :

  1. Penyampaian usulan sampai dengan akhir September 2021.
  2. Verifikasi dan validasi penyetaraan jabatan oleh Kementerian Dalam Negeri sampai dengan akhir Oktober 2021.
  3. Pertimbangan tertulis penyetaraan jabatan dari Kementerian PAN – RB sampai dengan akhir November 2021.
  4. Persetujuan Menteri Dalam Negeri untuk penyetaraan jabatan di lingkungan Pemerintah Daerah sampai dengan pertengahan Desember 2021.
  5. Pelantikan Pejabat Fungsional dan Penyampaian Laporan sampai dengan tanggal 31 Desember 2021.

Praktis, tahapan proses penyetaraan tersebut sudah berjalan. Pemerintah daerah di seluruh Indonesia, pada sebagian besar jabatan strukturalnya sudah dialihkan/disetarakan menjadi jabatan fungsional. Termasuk di Provinsi Sulawesi Tengah. Tentu menjadi menarik untuk ditelusuri seperti apa dampak baik dan karir ASN pasca penyetaraan ini.

Arah Baru Karir ASN

Adanya kebijakan tersebut tentu menimbulkan terjadinya perubahan yang mendasar dalam struktur birokrasi pemerintahan Indonesia. Alur koordinasi yang tadinya berjenjang dari unsur eselon I, ke eselon II, III, IV, hingga ke eselon V atau ke staf pelaksana terpangkas menjadi hanya dari eselon I atau eselon II ke eselon III dan langsung ke staf pelaksana yang menduduki jabatan fungsional. Sesuai karakteristik instansi, pusat atau daerah.Kondisi tersebut tentu menuntut adanya kesiapan dari berbagai pihak pemangku manajemen kepegawaian termasuk para ASN sendiri. Pengelola kebijakan kepegawaian nasional harus segera menyiapkan perangkat aturan hukum terbaru agar seirama dengan kondisi baru tersebut. Sementara para ASN sendiri -utamanya yang terdampak- wajib untuk menyesuaikan diri secara cepat agar karir mereka tetap bisa berkembang pasca pemberlakuan penyetaraan jabatan tersebut.Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan pasca peralihan jabatan struktural ke jabatan fungsional yang bisa menjadi arah baru karir ASN :

  1. Fokus pada pengembangan keahlian dan kompetensi. Dalam jabatan fungsional, ASN akan lebih diarahkan untuk mengembangkan keahlian dan kompetensi yang relevan dengan bidang tugasnya. Hal ini akan memungkinkan ASN untuk menjadi lebih ahli dan terampil dalam bidangnya, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih besar dalam menjalankan tugasnya.
  2. Peluang karir yang lebih jelas. Dalam jabatan fungsional, terdapat jenjang karir yang jelas dan terstruktur. Hal ini memungkinkan ASN untuk lebih mudah mengetahui peluang karir yang ada, serta langkah-langkah yang perlu diambil untuk mencapai jenjang karir yang diinginkan.
  3. Penilaian kinerja yang lebih objektif. Dalam jabatan fungsional, penilaian kinerja ASN lebih didasarkan pada kompetensi dan kinerja yang terkait dengan bidang tugasnya. Hal ini memungkinkan penilaian kinerja menjadi lebih objektif dan transparan, serta dapat membantu ASN untuk meningkatkan kinerjanya.
  4. Kesempatan untuk mengembangkan diri secara luas. Dalam jabatan fungsional, ASN memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri secara luas, terutama dalam hal pengembangan keahlian dan kompetensi yang terkait dengan bidang tugasnya. Hal ini dapat membantu ASN untuk menjadi lebih ahli dan terampil dalam bidangnya, serta membuka peluang untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar di masa depan.
  5. Tantangan yang lebih besar. Dalam jabatan fungsional, ASN akan dihadapkan pada tantangan yang lebih besar, terutama dalam hal menyelesaikan tugas-tugas yang terkait dengan bidangnya. Hal ini memungkinkan ASN untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilannya, serta meningkatkan motivasi kerja dan kepuasan dalam bekerja.

Perubahan dari jabatan struktural ke jabatan fungsional dapat mengubah cara ASN memandang arah karir mereka. Dan secara operasional keduanya terdapat perbedaan yang mencolok. Berikut adalah beberapa perbedaan utama antara jabatan struktural dan jabatan fungsional:

  1. Hirarki. Jabatan struktural memiliki hirarki yang jelas, sementara jabatan fungsional tidak memiliki hirarki yang jelas.
  2. Tanggung Jawab. Jabatan struktural memiliki tanggung jawab manajerial dan administratif tertentu, sedangkan jabatan fungsional memiliki tanggung jawab spesifik dalam bidang tertentu.
  3. Pengambilan Keputusan. Jabatan struktural sering kali memiliki kekuasaan dalam pengambilan keputusan organisasi, sementara jabatan fungsional tidak memiliki kekuasaan yang sama dalam pengambilan keputusan organisasi.

Penyetaraan Jabatan di Provinsi Sulawesi Tengah

Lingkup Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, proses pelaksanaan penyetaraan jabatan dilakukan pada tanggal 31 Mei 2022. Untuk Provinsi Sulawesi Tengah, penyetaraan jabatan masih pada tataran level eselon IV (Pengawas). Itupun belum semuanya. Baru sejumlah 418 pejabat pengawas yang dialihkan ke jabatan fungsional. Atau setengah dari pejabat pengawas lingkup Prov. Sulteng yang mencapai 800an pejabat.

Tentu dan pasti terjadi hambatan dalam implementasi kebijakan. Termasuk kebijakan penyetaraan jabatan. Adapun kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Provininsi Sulawesi Tengah, dan mungkin juga daerah lainnya, dalam menjalankan kebijakan tersebut diantaranya :

Pertama, karakteristik yang sangat berbeda antara jabatan administrasi dan jabatan fungsional. Perbedaan ini mempunyai dampak dalam melaksanakan implementasi kebijakan penyetaraan jabatan. Secara alamiah, terdapat perbedaan karakter antara jabatan administrasi dengan jabatan fungsional. Jabatan administrasi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.

Peran pejabat administrasi lebih fokus pada fungsi manajemen, dimana pejabat administrasi diberi kewenangan untuk mengatur, mendelegasikan tugas dan kerja pegawai yang berada di bawah kendalinya untuk mencapai tujuan organisasi. Pada perspektif birokrasi jabatan administrasi, dikenal dengan pemisahan antara staf dan pimpinan. Pimpinan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mendelegasikan tugas dan pekerjaan, sementara staf memiliki kewajiban untuk mengikuti arahan dan perintah dari pimpinan.

Dalam jabatan administrasi, terdapat tiga level kewenangan, yaitu pejabat administrator (eselon III), pejabat pengawas (eselon IV) dan pejabat pelaksana (eselon V). Di bawah tiga level tersebut, terdapat kelompok jabatan pelaksana yang dikenal dengan terminologi staf. Dengan penjenjangan seperti ini, pola pikir/mindset pimpinan adalah yang memiliki peran mengatur dan memerintah sementara mindset staf adalah wajib mengikuti arahan pimpinan telah terbentuk.

Pola pikir pimpinan dan bawahan dalam dunia jabatan administratif, melalui proses penyetaraan jabatan mengharuskan untuk diubah. Dalam konteks jabatan fungsional, tidak terdapat terminologi pimpinan dan staf, yang ada adalah rekan kerja yang menjalankan tugas dan fungsi sesuai keahlian jabatan fungsionalnya dan sama-sama bertanggung jawab langsung kepada pimpinan.

Kendala dalam realisasi proses penyetaraan jabatan, ternyata tidak mudah mengubah pola pikir para pejabat yang mengalami penyetaraan jabatan. Di sisi lain, pegawai yang telah lebih dulu menduduki jabatan fungsional, menuntut adanya perubahan paradigma para pejabat yang mengalami penyetaraan. Adanya gap antara tuntutan dan harapan dengan realisasi mekanisme kerja pejabat yang mengalami penyetaraan seringkali menimbulkan gesekan. Meskipun demikian, kendala-kendala seperti ini masih dalam batas yang dapat ditoleransi.

Namun demikian, dalam prakteknya, dunia birokrasi yang masih membutuhkan jenjang penelaahan dan kinerja bertahap mengakibatkan para pejabat yang mengalami penyetaraan tetap harus menjalankan peran selayaknya masih menjabat jabatan administrasi. Untuk menggantikan terminologi jabatan administrator dan pengawas, dimunculkanlah istilah koordinator dan sub koordinator. Dimana tugas dan fungsi koordinator dan sub koordinator adalah tugas dan fungsi sebagaimana administrator dan pengawas.

Pejabat yang terdampak kebijakan penyetaraan jabatan, pada prakteknya diamanahi sebagai koordinator atau sub koordinator. Dengan kata lain, mereka masih diberikan kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang tertentu sebagaimana yang melekat pada jabatan sebelumnya. Sehingga muncul sebutan “pejabat fungsional rasa struktural”.

Kondisi ini menambah beban pejabat yang terdampak penyetaraan. Di satu sisi, yang bersangkutan harus mengikuti iklim kerja jabatan fungsional yang berbasis kinerja perorangan dengan bukti pengumpulan angka kredit, di sisi lain diberi beban, tanggung jawab serta peran sebagaimana jabatan struktural yang sebelumnya dijabat.

Meskipun terdapat peraturan yang mengonversi jabatan koordinator dan sub koordinator ke dalam nilai angka kredit, namun hal ini belumlah mencukupi bagi pejabat yang bersangkutan untuk mengumpulkan nilai angka kredit minimal. Pejabat yang bersangkutan tetap harus mengumpulkan berkas-berkas administrasi yang akan dikonversi ke dalam angka kredit jika ingin pangkat dan jabatannya meningkat. Kondisi diperlukan upaya pengumpulan angka kredit ini, tidak perlu terjadi jika yang bersangkutan masih menjabat sebagai pejabat administrasi.

Kedua, dalam beberapa kasus, masih banyak terdapat permasalahan penyetaraan jabatan yang merugikan pegawai itu sendiri. Terdapat jabatan administrasi level pelaksana (eselon V). berdasarkan PermenPANRB Nomor 17 Tahun 2021, jabatan pelaksana disetarakan menjadi jabatan fungsional level ahli pertama.

Permasalahan yang timbul ketika pejabat yang menduduki jabatan pengawas telah menduduki pangkat III/d (Penata Tk. I) dan dalam waktu satu tahun lagi, memiliki hak naik pangkat otomatis ke IV/a (Pembina). Dengan kebijakan penyetaraan jabatan, maka pejabat yang bersangkutan harus bersedia disetarakan dengan jabatan fungsional jenjang ahli pertama. Jenjang ahli pertama, pada level pangkat diduduki oleh pegawai dengan pangkat III/a dan III/b. Bagi pegawai yang berada pada pangkat III/d, seharusnya level jabatan fungsional setara dengan jabatan ahli muda. Dengan kondisi tersebut maka akan terjadi penurunan jenjang jabatan. Yang seharusnya dapat naik dalam waktu satu tahun, maka dengan adaya perubahan tersebut yang bersangkutan akan membutuh waktu yang lebih untuk data naik jenjang jabatan yang lebih tinggi.

Sehingga permasalahan administrasi ini menjadi salah satu faktor yang merugikan pegawai. Proses administrasi pemindahan jabatan, meskipun telah diatur dalam PermenPANRB, namun pada faktanya tidak semudah yang diharapkan. Bagi pejabat fungsional, selain pelantikan jabatan yang didasari oleh adanya Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh pejabat pembina kepegawaian, juga dibutuhkan SK Penilaian Angka Kredit (PAK) sebagai acuan awal penghitungan angka kredit.

Ketiga, penyetaraan jabatan memengaruhi peta jabatan. Kebijakan penyetaraan jabatan ini membuat instansi harus menyediakan formasi jabatan fungsional yang akan diisi. Misalkan jika terdapat formasi jabatan 1000 pegawai maka dengan ada kebijakan tersebut memiliki dampak 1000 alokasi jabatan fungsional yang dapat diisi. Dalam pelaksanaannya, terkadang instansi dengan jumlah jabatan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pejabat yang mengalami penyetaraan.

Keempat, memperkecil peluang adanya penyegaran organisasi dengan adanya mekanisme rotasi jabatan. Pada periode sebelumnya, dengan masih banyaknya jabatan administrasi, salah satu kelebihan sistem ini adalah dimungkinkannya rotasi jabatan sebagai bagian dari penyegaran organisasi. Dengan adanya peraturan bahwa pejabat paling lama menduduki jabatanya selama lima tahun, memungkinkan adanya rotasi pejabat. Rotasi ini dalam banyak hal dibutuhkan sebagai bagian dari penyegaran organisasi. Kebijakan penyetaraan jabatan, berdampak pada tidak fleksibelnya rotasi jabatan.

Jabatan fungsional yang melekat pada pegawai, akan dibawa sampai pegawai tersebut memasuki masa purna bakti (terkecuali mendapat kesempatan promosi). Dengan demikian, tidak ada kewenangan pimpinan untuk memindahkan pejabat fungsional ke jabatan lainnya. Padahal, dalam beberapa kasus, perpindahan pegawai dibutuhkan dalam rangka penyegaran organisasi.

Kelima, penyetaraan jabatan dapat menimbulkan iklim kerja yang monoton, linier, dan terjebak pada zona nyaman. Ini dikhawatirkan memunculkan rasa bosan atau justru berprilaku menyimpang (korupsi). Karakteristik pejabat fungsional adalah melekat pada pegawai selama pegawai tersebut mampu memenuhi kewajiban sebagai pejabat fungsional sesuai aturan yang berlaku. Dengan kata lain, tidak ada pihak yang memiliki kewenangan dalam menentukan karir pejabat fungsional selain pejabat fungsional itu sendiri. Berbeda dengan jabatan administrasi, pimpinan memiliki kewenangan untuk memindahtugaskan pegawai sesuai kebutuhan organisasi.

Demikian beberapa tinjauan dari pemberlakuan kebijakan pengalihan jabatan struktural ke jabatan fungsional dilingkungan pemerintahan saat ini. Semoga bermanfaat.